Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Penempatan Jauh : Guru Sekolah Rakyat Mengundurkan Diri

Selasa, 28 Oktober 2025 | Oktober 28, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-29T03:19:39Z


Gelombang pengunduran diri guru Sekolah Rakyat (SR) tengah menjadi sorotan, dengan masalah penempatan yang jauh dari domisili menjadi pemicu utamanya.

Contoh nyata terjadi di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 24 Gowa, Sulawesi Selatan. Kepala Sekolah, Anwar, mengungkapkan bahwa dua guru baru—pengampu Bimbingan Konseling (BK) dan Seni Budaya—mengundurkan diri sebelum sempat mengajar. Keduanya beralasan terkendala jarak dan masalah keluarga.

"Kami belum sempat berinteraksi dengan mereka karena mereka belum pernah bertugas," ujar Anwar. Ia menjelaskan, kedua guru itu menetap di Yogyakarta dan kesulitan pindah, salah satunya karena pasangan mereka juga berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Akibatnya, SRMP 24 Gowa kini kekurangan tenaga pendidik; dari idealnya 11 guru, kini hanya sembilan yang aktif melayani 150 siswa.


Skala Nasional dan Respon Pemerintah

Fenomena ini bukan insiden terisolasi. Menteri Sosial (Mensos), Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, melaporkan bahwa secara nasional, total 160 guru SR telah memilih mundur. Penyebab utamanya seragam: lokasi penempatan yang dinilai terlalu jauh dari tempat tinggal mereka.

Para guru memilih keluar karena penempatan yang tidak sesuai dengan domisili," kata Gus Ipul.

Untuk mengatasi dampak ini, Kementerian Sosial (Kemensos) bergerak cepat dengan menyiapkan pengganti dari lebih dari 50.000 calon guru yang sedang mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG). Namun, lonjakan pengunduran diri ini menimbulkan keraguan terhadap efektivitas dan keberlanjutan program SR. Kasus serupa yang juga mencuat terjadi di SR Sentra Wirajaya Makassar, di mana guru IPS dan Seni Budaya juga mundur karena masalah jarak tempuh.


Kritik Terhadap Sistem Penempatan Sentralistik

Kondisi ini memicu kritik keras terhadap mekanisme penempatan guru yang dianggap kaku dan terlalu sentralistik.

Yanuar Nugroho, seorang pengamat kebijakan publik dari Nalar Institute, menilai bahwa sistem administratif yang diberlakukan pemerintah pusat gagal mempertimbangkan realitas lapangan. "Penempatan yang mengabaikan domisili atau kemampuan mobilitas guru menciptakan ketidakselarasan antara kebutuhan pendidikan di daerah dan kesiapan individu guru," kritiknya.

Senada dengan itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mendesak agar pemerintah daerah (Pemda) dilibatkan secara aktif. Menurutnya, kebijakan satu arah dari pusat akan terus memunculkan masalah praktis. "Pemda lebih mengerti kondisi geografis dan sosial-ekonomi lokal, sehingga peran mereka penting dalam menentukan penempatan," jelas Ubaid.

Ia juga menyarankan agar preferensi lokasi guru dipertimbangkan sejak awal melalui survei atau konsultasi, guna menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab mereka terhadap program.

Menanggapi masukan ini, Gus Ipul menegaskan komitmen pemerintah untuk mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan SR. Upaya perbaikan akan difokuskan pada penambahan sekolah dan optimalisasi penempatan guru agar lebih sesuai, demi memastikan akses pendidikan tetap terbuka bagi anak-anak dari keluarga miskin.

"Program SR ini masih dalam fase awal. Kami bertekad untuk terus memperbaiki setiap kekurangan, termasuk masalah penempatan dan penambahan tenaga pendidik," tutup Gus Ipul.

×
Berita Terbaru Update